Pulchra Nocte (Part I)

“Mas, bangun mas. Sudah jam setengah 8. Nanti kamu dimarahi atasan kamu lagi”.

Suara ibu yang tiap pagi buat gue tertarik dari dunia mimpi. Mata yang masih sulit dibuka karena terangnya matahari lewat jendela kamar yang langsung menghadap ke timur. Ini salah satu hal kenapa gue ingin sekali tinggal sendiri. Karena tiap pagi pasti ibu ke kamar untuk bukakan jendela supaya matahari pagi dan udaranya masuk, setelah itu disambung dengan teriakannya untuk membangunkan gue.

“Iya bu, ini aku sudah bangun. Tenang aja, sehabis ini enggak tidur lagi kok”.

“Okay Mas, jangan bohong loh. Kalau bohong, nanti Ibu yang mandikan kamu kayak waktu masih kecil”.

Ancaman yang terdengar tidak cukup berbahaya, namun sebenarnya membuat gue agak trauma. Karena sewaktu kecil dulu setiap dimandikan oleh Ibu, pasti dia menggosok kencang punggung gue dengan sabut kelapa supaya bersih katanya. Memang kebiasaan keluarga kami begitu higienisnya kalau perihal membersihkan diri. Makanya sewaktu SD kalau sedang pembagian raport dan dia melihat tengkuk leher teman gue yang hitam, pasti Ibu ngomong, “Tuh lihat, pasti ibunya enggak pernah kasih tau ke anaknya untuk mandi yang bersih”. Ya begitulah Ibu, hal detail selalu jadi hal terpenting baginya.

Selesai mandi, sambil memakai deodoran dan memilih kemeja. Gue menyalakan speaker bluetooth hasil rampasan dari rumah teman, Di iringi dengan lantunan dari Dian Pramana Poetra – Biru, lagu yang sering di putar oleh Ibu sewaktu gue kecil jadi kebiasaan setiap memulai hari.

“Mas, kamu siap – siapnya lama banget sih. Nanti kamu telat lagi”

“Sabar dong bu, ini lagi cari kaos kaki yang warna abu. Ibu tahu dimana enggak?”

“Kan kemarin sudah dipakai kaos kakinya, semalam ibu taruh di keranjang cucian. Cari yang lain ah. Kaos kaki banyak kok dipakainya yang itu terus”

See? Setiap pagi selalu diramaikan oleh obrolan masalah kaos kaki, kemarin masalah celana dalam, minggu lalu masalah kemeja bolong yang langsung Ibu buang padahal cuman bolong sedikit karena kena bara rokok. Kata ibu, “Kamu tuh sudah kerja, jangan malu – maluin ah”. Tapi kebayang kalau cita – cita ingin tinggal sendiri tapi cari kaos kaki aja belum becus. Itu kamar pasti bakal kayak gudang karena perkara cari kaos kaki doang.

Roti bakar isi telor sudah tersedia di meja beserta susu milo hangat. Tidak sampai 5 menit gue habiskan sarapan pagi. Langsung bergegas untuk mengeluarkan motor. Ibu selalu membukakan gerbang dan mencium keningku sambil berkata, “Hati – hati dijalan. Jangan ngebut, jangan berantem, jangan enggak pulang, nanti Ibu sendirian enggak ada yang nemenin”. Ucapan yang selalu sama dari dulu. Ibu hanya tinggal bertiga dengan gue dan adik sudah hampir 10 tahun ini. Ayah sudah meninggalkan kami karena serangan jantung sewaktu bekerja. Ayah yang terlalu sibuk bekerja untuk menghidupi keluarganya. Dan adik sekarang kuliah di Bandung sudah tingkat akhir, jadi dia sudah tidak dirumah dari 3 tahun lalu.

“Iya bu, tenang aja aku pasti dengerin kata ibu kok. You can count on me okay. Love you Bu”

Setelah cium tangan ibu, gue langsung bergegas keluar komplek karena mengingat jalanan depan komplek ada galian PLN yang sudah berbulan –bulan buat macet. Jakarta yang makin lama makin panas membuat gue berpikir untuk cari pekerjaan diluar kota ini. Dulu sewaktu SMP kalau naik ojek ke sekolah, kayaknya matahari tidak seterik dan sepanas ini deh. Sekarang, walaupun pakai jeans. Paha sampai terasa perih saking panasnya.

Sampai parkiran motor langsung lari masuk kantor. Takutnya telat lagi terus kena omel lagi dari Mas Ardi. Dia adalah manajer baru. Umurnya beda 5 tahun dengan gue. Jadi sebenarnya masih lumayan nyambung kalau ngobrol. Cuman memang orangnya lumayan disiplin soal waktu. Hal yang paling lemah dalam hidup gue ya soal waktu. Jadi ini seperti diberi pelajaran oleh Tuhan kali ya.

“Wih, padahal 5 menit lagi aja lo baru datang. Gue bakal suruh lo push-up Nay”.

“Hahaha, enak aja. Jatah telat gue udah habis minggu ini Mas. Selang – seling aja biar afdol”.

“Kalau gitu minggu depan gue suruh lo bantuin Pak Jati untuk ngepel 1 lantai ini”.

“Iya becanda kali mas. Hehe”, gue kasih senyuman sambil buka laptop dan taruh tas.

Kantor memang lagi hectic beberapa bulan ini, karena pergantian manajemen. CEO kami baru diganti setelah RUPS beberapa bulan lalu. Jadi banyak business process yang berubah makanya jadi lebih ribet. Tapi ya namanya perusahaan pasti melewati masa seperti ini. Jadi nikmatin aja. Namanya juga kacung kupret kan.

Dengan earphone yang menyumpal kuping ini dan hentakan double pedal Chris Adler sewaktu masih di Lamb of God membuat gue enggak sadar kalau Kina memanggil dengan penuh kekesalan yang terlihat dari matanya. Gue langsung senyum sebagai ucapan maaf sambil copot earphone gue.

“Nay, lain kali dengerin lagunya tuh yang tenang gitu. Bukan lagu yang berisik enggak jelas bikin lo kayak kerasukan setan budeg”

“Kina, setan budeg enggak doyan sama metal. Di playlist Spotify dia adanya “Kompilasi Dangdut Koplo Jilid 2”

“Ah lo mah bercanda mulu. Sini deh, gue enggak ngerti cara kerjainnya gimana. Lo pernah kerjain case kayak gini enggak”

Tangan dia narik kemeja gue supaya mendekat ke laptopnya. Masalahnya setiap dia nanya kerjaan gini, gue enggak pernah fokus. Karena gue selalu kayak terhipnotis dengan wangi Citrus dari Tom Ford “Neroli Portofino” ini. Benar – benar buat pikiran gue mikirin yang “lain”. Kenapa sampai gue hafal parfumnya? Karena pernah sewaktu itu sehabis makan malam di mall dekat kantor, gue nemenin dia untuk beli parfumnya itu. Dan sewaktu lihat harganya. Sempat enggak percaya lihat digitnya, karena harga parfumnya sama kayak uang jajan gue sebulan. Dari SMP sampai sekarang, gue selalu setia dengan cologne Gatsby “Musky”. Karena wanginya fresh dan gue orangnya memang loyal sama suatu brand. Padahal mah karena harganya murah sih. Belum pernah kepikiran beli parfum sampai semahal itu juga.

“Nay, kok lo malah bengong sih. Ini bantuin gue. Mas Ardi minta ini selesai sebelum jam 12. Karena dia mau meeting jam 2. Masa gue enggak makan siang lagi”

“Kina, gue tuh bengong karena lagi inget – inget caranya gimana”

“Gue aja belum jelasin masalahnya. Bohong aja deh lo. Bilang aja lagi ngeliatin anak baru yang lagaknya kayak Princess Elsa”

“Wah serem dong, nanti kalau gue salaman pas kenalan malah jadi es serut”

“Garing deh lo. Udah ah sini duduk dulu gue mau jelasin”

Bukannya gue enggak mau ganti playlist ke lagu yang lebih tenang. Kalau lagunya tenang, nanti gue bakal dengar setiap kali Kina manggil untuk minta bantuan. Sedangkan kalau gue dengerin lagu Metal, pasti dia bakal cape sendiri karena gue enggak nengok – nengok.

Dan jam sudah menunjukan jam 12.03. Akhirnya selesai juga bantuin Kina. Sekarang kerjaan gue yang terbengkalai gegara dia. Selalu deh kalau bantuin teman kayak begini. Kemarin bantuin anak magang apalagi, sampai gue harus melewatkan gigsnya Scaller. Padahal gue niat dari minggu lalu ingin nonton. Karena penasaran lihat mereka live perform.

“Nay, karena lo sudah berbaik hati bantuin gue. Sini gue traktir makan siang”.

“Nah gitu dong Kin, gue paling suka nih makan gratis. Yaudah gue mau Hanamasa”.

“Naraya Putra, kalau makan gratis tuh tahu diri dong. Kan gue cuman mau traktir Indomie Goreng doang di Warung Bu Mar”.

“Ah, kalau Indomie Goreng mah. Mending gue makan siang sendiri kalau gitu”.

“Becanda kali, yaudah makan Sushi Tei yuk. Gue lagi ngidam nih. Naik mobil gue aja. Tapi lo yang nyetir ya. Please. Hehe”

“Hmm.. Yaudah deh yuk”

Jarak dari kantor ke Sushi Tei hanya 15 menit. Jadi kami sering makan disana kalau ada occasion tertentu. Sesampainya depan Sushi Tei benar seperti dugaan gue. Waiting listnya sudah 5 orang.

“Tuh kin, ini kalau kita mau maksa makan disini. Bisa – bisa jam makan siangnya habis. Mending makan di tempat lain deh”.

“Enggak mau ah, sayang udah kesini terus makan tempat lain. Paling lagi – lagi lo mau makan KFC”.

“Ya abis gimana lagi, daripada telat ke kantor kan”.

“Enggak ah, nanti biar gue yang ngomong ke Mas Ardi. Karena harus ngerjain ad-hoc dari dia jadi telat makan siang. Dia mah kalau sama gue pasti nurut. Nanti gue pakai suara centil deh. Hihihi”.

“Yaudah kalau gitu, pokoknya kalau dimarahin nanti gue lemparnya ke lo ya”.

“Iya tenang aja Nay”.

Nunggu di bangku waiting list itu buat perut tambah lapar. Karena enggak ada senderannya. Harus duduk tegap kayak security. Kina asik dengan handphonenya. Aktivitas dia itu cuman lihat Instagram Stories dan lihat message dari fansnya. Maklum, Kina itu gue nobatkan sebagai “Rising Star of Celebgram 2016”. Kalau gue katain begitu, dia pasti cubit lengan gue sampai biru. Kebiasaan yang buat gue ingin balas dengan cubit yang lain. Tapi nanti gue kena pasal pelecehan seksual.

“Atas nama Kina Larasati. Panggilan atas nama Kina Larasati”.

“Kin, itu dipanggil tuh. Yuk”.

“Yeay, akhirnya makan. Let’s go!”

Mukanya sumringah seperti anak kecil masuk ke Toys r us.

Kamipun duduk di depan conveyor belt. Kata Kina supaya gue bisa langsung ambil apa yang gue mau. Sebenarnya gue enggak pernah hafal dengan Sushi. Yang gue hafal itu cuman Salmon Maki. Karena seinget gue itu doang yang harganya lumayan terjangkau. Kalau gue di ajak ke KFC, gue hafal diluar kepala deh. Karena isinya ayam doang, yang beda cuman paketnya aja. Jadi gampang di ingat.

Jam menunjukan 12.26 dan Kina masih asik makan.

“Kina, udahan yuk. Udah jam segini nih. Nanti dicariin loh”

“Aduh tenang aja Nay, nih habis gue makan ini ya. Kita langsung cus pulang. Okay, babe?”

Tuh kan, dia mulai deh genit kalau lagi ngerayu. Udah tahu gue baper kalau dia begitu. Nih ya, dari pertama kali masuk Sushi Tei, sudah berapa cowok yang perhatiin dia. Bahkan ada cowok yang sepertinya lagi makan siang sama ceweknya, sampai patah banget lihat Kina. Dan akhirnya tangan tuh cewek cubit paha cowoknya. Baru deh cowoknya nengok sambil nyengir miris kayak kucing ketahuan nyolong ikan.

Kina itu cuman beda 2 tahun dengan gue. Dia lebih muda. Gue akuin dia itu cantik. I would say that she is flawless. Muka dia enggak usah pakai masker kefir untuk tetap keliatan tetap cerah. Kayaknya dari lahir memang sudah begitu. Dan karena kecantikan dia, makanya followers Instagramnya banyak banget. Kalau enggak salah sekarang sudah mendekati angka 50 ribu. Tapi dia enggak seperti celebgram lainnya yang feednya seperti baliho jalanan yang isinya endorse melulu. Dia hanya post foto – fotonya sama teman – temannya atau keluarganya. Oiya, bapaknya tuh salah satu pejabat. Dirjen di Kementrian Perdagangan kalau enggak salah. Gue enggak pernah menanyakan detail tentang keluarganya, karena siapa gue juga.

“Yuk balik kantor Nay. Enak nih perut kenyang tinggal tidur deh di mobil. Hehe”

“Kina, dikira gue supir lo apa. Kalau lo tidur nanti gue nyalain lagu Metal loh”

“Ah enggak mau. Nanti speaker mobil gue rusak”

“Lebay deh lo”

Perjalanan ke kantor agak macet karena banyak orang kantoran yang habis makan siang juga. Jadi sembari menikmati macet yang tidak bisa dihindari ini, kita mendengarkan playlistnya Kina yang isinya musik “pintar” kalau kata gue. Dia enggak seperti cewek lainnya yang sukanya Top 40 atau EDM. Selera dia sama seperti bapaknya. Dulu dia pernah bilang kalau setiap pagi bapaknya selalu mendengarkan music seperti Coltrane, Sinatra, Manhattan Transfer, Ella Fitzgerald dan musisi jadul kenamaan lainnya. Kali ini kami mendengarkan Naima dari John Coltrane. Sebenarnya gue enggak kuat mendengarkan musik begini sambil nyetir. Karena buat ngantuk. Tapi melihat Kina sudah tertidur duluan. Gue enggak tega untuk ganti lagunya.

Pemandangan ini sering gue lalui kalau lagi menyetir mobilnya Kina. Dia cepat sekali terlelap. Karena aktivitas dia padat juga sebenarnya. Bangun pagi sekali lalu jogging keliling komplek rumahnya, baru ke kantor, pulang kantor dia punya segudang aktivitas yang berbeda tiap hari. Kalau tidak salah ya, senin dan rabu dia les piano, selasa dan kamis dia les masak dirumahnya dengan Chef ternama yang gue lupa namanya, lalu jumat malam dia ikut book club gitu. Kadang gue berpikir, kok kuat ya dan dia konsisten menjalaninya. Ini yang jarang gue lihat dari perempuan saat ini. I always adore woman who has that spirit and consistency.

Setiap kali dia tertidur seperti ini dan melihat wajahnya. Gue selalu berpikir, sebenarnya apa yang gue rasakan ke dia. Maksudnya, terkadang jantung berdegup kencang kalau dia pegang tangan gue misalnya karena mau nyebrang atau hanya sekedar narik tangan gue ke kantin untuk ngemil sore. Apalagi dia sangat detail, dia selalu ingat dengan kemeja apa yang gue pakai kalau sudah gue pakai 2x dalam seminggu. Dia pasti akan ngomel dan ngatain gue jorok. Atau sekedar mengingatkan gue minum air putih kalau dia lihat botol minum gue kosong dari pagi dan dia akan ke dispenser untuk mengisikan botol gue. Walaupun habis itu dia selalu minta tolong gue dengan kerjaannya. Tapi ya beigtulah Kina, perempuan yang menurut gue spesiesnya berbeda. Ini makhluk langka. Jadi harus masuk konservasi, yaitu Konservasi Alam milik Naraya Putra.

Ah, gue kebanyakan melamun babu di siang bolong gini.

Sesampainya di parkiran kantor. Gue bangunin Kina.

“Kin, bangun, Kita udah sampai kantor”. Sambil perlahan gue tepuk tangannya.

“Wah, sudah sampai kantor aja. Maaf ya Nay gue ketiduran. Baik sekali tadi lo enggak tiba – tiba ganti dengan lagu metal lo”

“Hahaha ya enggak lah. Habis ngeliat lo lelap begitu, gue enggak tega isengin lo. Yuk, ke atas”

The rest of the day is like another day. Gue dan Kina ngemil sore dengan beberapa teman yang lain. Lalu setelah Maghrib kita pulang. Sedangkan Kina pastinya harus les dulu. Dan gue langsung pulang ke rumah karena Ibu tadi whatsapp kalau dia sudah menyiapkan Tumis Tempe dan Ikan Pesmol. Karena kebayang betapa enaknya masakan Ibu, gue sepanjang jalan keroncongan. Untung perut masih bisa bertahan. Kalau tidak, gue sudah melipir untuk beli Sate langganan gue di perempatan dekat rumah.

“Ibu, aku pulang”.

“Halo nak, gimana kantor? Tadi enggak terlambat kan?”.

“Alhamdulilah enggak bu. Hehe.. Ibu sudah makan?”.

“Syukurlah kalau begitu, belum lah. Ibu kan mau makan malam bareng kamu. Coba taruh dulu tasnya sama cuci tangan dulu. Kamu kebiasaan habis pulang enggak bersih – bersih dulu. Tangan kamu banyak kumannya itu”.

“Siap bu, sebentar ya aku cuci tangan dulu”.

Makan malam dengan Ibu adalah kegiatan yang hampir tiap malam kalau gue tidak lembur. Biasanya gue ceritakan kegiatan hari ini apa aja. Termasuk traktiran makan siang tadi dan apa yang gue pikirkan sewaktu melihat wajahnya Kina di mobil. Tapi Ibu selalu hanya mendengarkan, dia jarang sekali memberikan nasihat kalau dia melihat anaknya masih bisa untuk mencari solusi sendiri. Dia tahu apa yang dibutuhkan anaknya, yaitu didengarkan. Karena gue bukan tipe yang terbuka masalah pribadi ke orang lain. Jadi hanya Ibu yang selalu mendengarkan celotehan gue. Dan dia juga rajin untuk menelepon adik gue setiap pagi dan malam untuk menanyakan kabarnya atau mengingatkan dia untuk makan. Karena adik gue ini tipikal cewek yang menjaga badannya. Takut enggak laku kalau gendut katanya. Padahal mah alasan dia aja karena mager untuk beli makan keluar kosan.

Setelah mandi dan melanjutkan baca bukunya Gladwell “Tipping Point”, mata gue sudah tidak bisa diajak kompromi. Maka malam berakhir dengan mencoba tidur sembari mendengarkan Oasis – She is love

“I don’t know where you come from

no I haven’t got a clue

All I know is I’m in love

with someone who loves me too.”

2 thoughts on “Pulchra Nocte (Part I)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.