Penggalan lirik dari lagu Dewa berjudul Satu. Kalau kita baca sekilas memang hanya seperti lirik puitis Dhani yang lain. Tapi coba kita ganti menjadi, “Aku ini adalah diri-Mu “. Maknanya akan jadi beda dan jadi pertanyaan. Kita yang adalah ciptaan-Nya kok berani -beraninya menyamakan derajat dengan Sang Pencipta. Zat yang dipercaya Agung dan bersemayam di dimensi yang kita tidak ketahui.
Bahkan sering kita diberitahukan oleh orang tua ataupun guru agama untuk tidak memikirkan itu. Jadi teringat sewaktu kelas 1 SMA, ada satu teman menanyakan ke guru agama, “Pak, sebenernya Tuhan itu ada dimana?”. Spontan sewaktu itu saya menjawab, “Ya enggak usah dipikir. Yang jelas Dia ada”. Dan dengan sigap, guru agama saya waktu itu menepuk pundak saya sambil berkata, “Ya benar Gugi”. Jawaban spontan saya berhasil di afirmasi oleh “Ahli” agama rasanya seperti menang medali emas di Olimpiade Agama.
Akan jadi debat kusir kalau membahas masalah Tuhan. Sama saja seperti membahas teori Bumi Datar vs Bulat. Yang sejatinya, apakah kita peduli kalau ternyata Bumi berbentuk jajaran genjang atau bahkan trapesium? Toh, kita hidup di bumi tanpa pernah melihat sendiri bagaimana bentuknya. Yang lebih menarik adalah membahas pilihan kata Dhani pada lirik Satu.
Aku ini adalah dirimu
Cinta ini adalah cintamu
Aku ini adalah dirimu
Jiwa ini adalah jiwamu
Rindu ini adalah rindumu
Darah ini adalah darahmu
Rasanya kalau melantunkan verse awal lagu Satu ini membawa kita dekat dengan belahan hati kita. Lirik tersebut mencoba menjadi medium antara kita dan dia. Mengesankan kalau kita tidak terpisah, kita ya Satu. Mungkin versi dangdutnya seperti Sepiring Berdua - Hj. Ida Laila yang hits di era 80an.
Tak ada yang lain selain dirimu
Yang selalu ku puja
Ku sebut namamu di setiap hembusan nafasku
Ku sebut namamu, ku sebut namamu
Reff tersebut melangutkan diri kepada belahan hati kita. Begitu dekatnya kita dengan dia sampai di granular aktivitas biologis kita. Begitu cintanya kita dengan terus menyebut namanya berkali-kali. Sebuah bukti bahwa afeksi yang begitu besar terjadi di diri kita.
Dengan tanganmu aku menyentuh.
Dengan kakimu aku berjalan
Dengan matamu aku memandang
Dengan telingamu aku mendengar
Dengan lidahmu aku bicara
Dengan hatimu aku merasa
Pada verse terakhir ini, tanpa bantuannya kita seperti manusia yang paralisis. Semua indera yang disematkan di tubuh kita tidak ada artinya tanpa dia. Tanpa kuasanya, kita seperti boneka yang bersandar di panggung teatrikal menunggu pentas. Kita hanya meminjam tubuh tanpa punya andil. Atas seizinnya kita bisa hidup.
Lagu ini dibuat Dhani dengan paham ajaran Tasawuf atau Sufisme yang dia pelajari. Atau bisa dibilang ini berada di tingkatan Makrifat, yaitu tingkat spiritual paling tinggi setelah Hakekat, Tarekat, lalu paling dasar adalah Syariat. Pada kalimat pertama di lagu ini, “Aku adalah dirimu” sebenarnya mirip dengan perkataan Syekh Siti Jenar, “Aku adalah Tuhan” adalah Prinsip Kemanunggalan dalam ajaran tentang manunggaling kawula Gusti. Sebuah tingkatan spiritual yang tidak bisa diterima semua orang.
Oleh karena itu, lagu Satu dibalut dengan nada Pop dan menuliskan, “Aku adalah dirimu”, bukan “Aku adalah diri-Mu” membuat lagu ini bertafsir tentang romansa dengan lawan jenis bukan lain Zat. Tapi kecintaan Dhani tentang Sufisme dicurahkan dengan artwork album Laskar Cinta yang menyerupai kaligrafi bertuliskan Allah.
Artwork ini yang menjadi lambang Dewa di setiap panggungnya. Baik menjadi backdrop ataupun menjadi “alas” stagenya. Dan inilah yang menjadikan salah satu Ormas pada saat itu memprotes Dhani untuk tidak menggunakannya lagi.
Ah iya, pada verse terakhir lagu Satu ini sepertinya Dhani mengambil dari salah satu ajaran Syekh Siti Jenar yang mengumpamakan bahwa manusia hidup ini sesungguhnya mayat yang gentayangan untuk mencari pangan pakaian dan papan serta mengejar kekayaan yang dapat menyenangkan jasmani. Oleh karena itu dituliskan di verse tersebut kalau kita seperti meminjam tubuh.
Walaupun terdengar begitu dalam dan tingginya filosofi dari setiap lirik Dhani, tidak luput dari dasarnya sifat manusia yang penuh dengan cela. Bahwa sesungguhnya kesalahan hanya milik kita dan kesempurnaan hanya milik Andra and The Backbone.
Sekian.
Yep. Suka banget dengan cara lo menulis ini, Gi. That’s why gw suka Dhani. Dibalik sikapnya yang suka nyeleneh dan kelemahannya sebagai manusia yang masih berbalut keinginan-keinginan seperti yang lainnya, dia punya pemahaman setingkat di atas rata-rata. Album Laskar Cinta menjadi favorit gw sampai saat ini, bukan sekadar musiknya yang emang cakep tapi liriknya yang kalau kita renungi lebih dalam lagi menggiring kita pada satu titik penyerahan diri pada Sang Maha Esa.
Cakep tulisannya, Gi!
LikeLike
Thank you mba apresiasinya. Yup, setuju dengan Dhani yang pintar. Bisa buat lirik yang multi-inteptretasi tuh juara banget sih. Suwun udah mampir mba
LikeLike