“Coba gini deh, kamu tuh sebenernya suka enggak sih sama aku?”
Pertanyaan yang keluar dari mulut Kina beberapa hari lalu. Setelah kejadian tersebut, Kina enggak masuk kantor dengan alasan sakit. Gue bingung, kalau gue tanya dia sakit apa, takut jadi canggung. Kalau enggak di tanya, kesannya gue enggak perhatian.
Keadaan seperti ini sebenarnya sudah gue prediksi. Keadaan dimana gue bermain dengan garis prinsip sendiri untuk tidak “mendekati” perempuan dalam satu circle, yaitu kalau keadaan disini adalah satu kantor. Alhasil, gue jadi stres sendiri.
Memilih antara prinsip atau hati.
“Berasa ganteng banget lo Nay bisa giniin Kina. Kalau lo memang dari awalnya enggak serius, enggak ada tuh namanya lo kasih perhatian lebih ke dia”, ucapan tersebut keluar dari mulutnya Sassy temannya Kina di telepon tadi.
Sassy memang bukan satu kantor dengan gue dan Kina. Tapi dia temannya Kina yang kebetulan dulu satu SMA sama gue. Dia jadi tempat dimana Kina suka cerita tentang perasaannya. Dari Sassy juga gue tahu kalau Kina suka sama gue. Pas gue dengar itu minggu lalu, rasanya seperti sensasi Astral Projection. Gue melayang sambil melambai ke diri gue yang masih terdiam dengan mata terbelalak.
Sial, kenapa otak dan hati gue enggak bisa sinkron seperti biasa sih. Gue selalu bisa untuk memberikan asumsi ke otak sampai hati pun luluh dan akhirnya mengikuti logika. Tapi kali ini, hati rasanya seperti kehilangan pijakannya. Ini seperti sedang melakukan perjalanan ke tempat yang terang dimana ujungnya adalah senyuman manis Kina. Rada dangdut memang, tapi gue enggak bisa bohong kalau gue memang suka sama Kina. Mungkin kata “suka” sudah terlalu rendah tingkatan maknanya.
Pulang kantor beberapa hari ini rasanya hampa. Sampai rumah gue langsung masuk kamar. Sampai Ibu pun masuk ke kamar untuk menanyakan keadaan gue.
“Mas, Ibu tau kamu ada masalah yang bukan masalah kantor. Karena kalau masalah kantor pasti kamu cerita. Kalau ini masalah kamu, Ibu enggak akan maksa kamu untuk cerita. Ibu yakin masalah akan berlalu dan kamu akan senyum lagi. Yaudah, istirahat ya”.
Gue hanya bisa membalas dengan senyuman kecil. Setelah itu gue hanya bisa berkontemplasi sambil menatap atap yang sudah mulai bercak karena bocor.
—
Weekend ini gue lewati dengan bangun siang, lalu hanya melihat akun instagram Kina seharian untuk mengetahui keberadaannya. Kina lumayan sering Intagram Stories (sebelum kejadian kemarin), jadi kadang dulu kalau Kina enggak bales chat, gue akan lihat Instagramnya untuk mengetahui kegiatannya. Tapi kali ini, Instagramnya sepi, seperti rumah yang ditinggalkan penghuninya.
Untuk menghindari pikiran gueyang berkelana tanpa tujuan dan tidak produktif. Maka gue memutuskan untuk menulis, kegiatan yang sebenarnya sudah jarang gue lakukan karena sibuknya kerjaan kantor. Melihat jounal book gue yang tertulis Agustus 2016 adalah tulisan gue terakhir.
Namanya sedang mengalami momen yang emosional begini, tangan seperti kerasukan dan otak berpikir cepat bak tamiya dengan dinamo cukin. Enggak terasa sudah 4 halaman menulis tanpa henti dan tanpa membalik ke halaman sebelumnya. Hanya mengikuti mood yang mengalir. Kalau membaca tulisan gue saat ini, jadi ingat tulisannya Seno Gumira yang Sepotong Senja untuk Pacarku. Disini gue tidak sedang self proclaimed kalau kualitas tulisan gue setingkat dengan beliau. Dan saat ini gue juga tidak sedang berada di pantai. Tapi di meja belajar yang sudah menemani gue melewati semua PR, SKS (sistem kebut semalam) sebelum ulangan ataupun UAS sewaktu kuliah.
Rasanya ingin sekali mengirim tulisan ini via email ke Kina. Walaupun gue pun tidak tahu apakah dia akan membacanya, menghapusnya atau bahkan tersenyum tersipu membaca tulisan gue ini. Tapi yang ada kalau gue kirim, nanti malah bikin tambah bingung Kina dengan maksud tulisan ini. Karena gue pun belum menentukan langkah gue setelah ini. Apakah harus mengalah dengan prinsip atau hati?
Malam ini gue menghabiskannya di balkon rumah merasakan tenangnya malam dengan angin semilir membawa asap rokok ini ke langit yang terang. Malam ini bulan sedang terang – terangnya dan kalau lihat Line Today, katanya malam ini ada Supermoon. Yang gue takut hanya akan datangnya Kakaroto yang mengamuk. Alah, otak ini lebih sering tidak bisa di kontrol akhir – akhir ini.
Gue ingat sewaktu bertemu Kina pertama kali di kantor, waktu itu hari pertama gue masuk. Mas Ardi memperkenalkan gue di depan karyawan yang lain, “Teman – teman, kita kedatangan karyawan baru disini, dia akan menjadi bagian dari tim kita. Mudah – mudahan bisa membantu banyak dalam pekerjaan kita. Tolong dibantu kalau dia butuh bantuan ya. Namanya Nara”. Sesudah diperkenalkan gue berkeliling untuk bersalaman dan berkenalan. Dari awal masuk ruangan gue sudah melirik Kina, perempuan yang parasnya mengalahkan kecantikan artis idaman gue yaitu Dian Sastro. Kalau dia ikut casting AADC dulu, mungkin Dian Sastro akan bertemu dengan lawan terberatnya dan Rudy Soedjarwo akan bingung akan dua pilihan ini.
“Halo, gue Nara”, sambil mengulurkan tangan gue yang agak keling karena keseringan naik motor tanpa menggunakan sarung tangan.
“Hai, nama gue Kina. Senang berkenalan dengan Nara”, Kina menjabat tangan gue dengan memberikan senyuman terbaiknya saat itu.
Waduh, kalau gue enggak sering minum susu. Kalsium di kaki gue mungkin tidak akan kuat untuk menopang badan yang sudah berdiri lunglai.
—
Waktu menunjukan pukul 23.41 pada hari minggu. Gue lagi mencoba tidur karena besok pagi ada meeting BOD. Tetiba ada dering notifikasi dari handphone, dengan sigap gue mengambil handphone karena gue kira ada email kantor.
“Aku mau ketemu kamu besok pagi”
Ternyata ada pesan masuk dari Kina. Gue hanya bisa membatu selama beberapa detik. Pesan yang memang gue tunggu – tunggu dari beberapa hari lamanya dari orang yang membuat gue enggak bisa berpikir jernih selama dia sakit. Perasaan bercampur antara senang dan gelisah karena gue enggak tau yang akan di obrolin oleh Kina ini sesuatu yang baik atau buruk.
Sepertinya malam ini gue hanya bisa melamun sampai pagi menjelang memikirkan apa yang akan Kina katakan kepada gue