Selama ini gw belum pernah denger ada orang yang saya temui di Jakarta pernah mampir ke Merauke. Apalagi tinggal di Merauke cukup lama, sepertinya jarang sekali. Mengingat kota ini jauh di timur Indonesia. Semua orang tahu ada 2 kota yang berada di ujung Indonesia, Sabang dan Merauke.
Gw tinggal di Merauke dengan keluarga kurang lebih hampir 5 tahun. Kami pertama kali datang ke sana antara tahun 1995-1996. Kami pindah kesana karena Ayah ditugaskan dari Bank tempat dia bekerja.
Bagi anak umur 5-6 tahun pindah ke kota lain tentu tidak terlalu berasa kehilangan dan lagipula tidak ada ekspektasi yang ditaruh untuk tahu ada apa disana. Yang diketahui adalah kami pindah dari rumah lama ke rumah baru.
Sampai sana, yang gw ingat adalah jalanan utama mereka yang kecil, tidak ada gedung sama sekali, kota yang kecil dimana jarak dari ujung ke ujung kota tidak memakan waktu sampai 30 menit, susunan kota yang blok sehingga rapih, jalanan dan pekarangan tertutup pasir pantai, dekat sekali dengan pantai walaupun lebih banyak lumpurnya.
Oiya, gedung itu hanya ada BRI yang mempunyai 2-3 lantai. Sisanya hanya 1 lantai. Jadi boro – boro lihat lift, eskalator aja tidak ada. Tidak ada mall, yang ada hanyalah restoran dan toko kelontong sebagai hiburan.
Di Merauke mengenal siesta, dimana kegiatan ekonomi berhenti sejenak dari jam 1 siang sampai jam 5 sore. Jadi secara kehidupan berdagang disana santai dan pelan sekali. Tidak ada kerumunan orang belanja atau makan.
Angkot disana hanya ada 1 trayek berwarna biru muda. Konfigurasi tempat duduknya pun seperti mobil Carry umumnya. Beda dengan di kota lain di Jawa yang miring dan berhadapan. Tidak ada kernet dan berpintu. Jadi buka tutup pintu biasanya memakai tali yang dikaitkan dengan pintu.
Disana tidak ada gas elpiji, memasak harus memakai minyak tanah. Jadi kompor memakai sumbu. Maka harus berhati – hati karena semuanya gampang terbakar.
Air tanah disana mengandung kapur. Jadi ada seperti bubuk putih di airnya. Maka kalau mau digunakan untuk kebutuhan rumah, harus disaring sampai 3x biasanya. Walaupun dulu kamu kalau untuk minum ya beli botol 1 liter merk Club. Karena Aqua tidak ada disana.
Lebih banyak warga rantau daripada suku asli yang tinggal di kota Merauke. Biasanya warga rantau datang dari Makassar, Pulau Kei dan Jawa. Sepertinya sangat jarang melihat suku asli yang memakai koteka ada di kota.
Dulu hanya ada 1 rumah sakit (RSUD) yang dimana tidak terlalu terawat. Jadi sudah tidak kaget kalau di selasar rumah sakit ada sapi atau kuda yang lewat. Oleh karena itu, dokter yang praktik pribadi jauh lebih laku disana. Bahkan kalau ada berita dokter spesialis datang ke Merauke, maka antrian dokter tersebut akan mengular.
Melihat kuda dan sapi berkeliaran adalah hal yang wajar. Di Merauke masih banyak sekali padang rumput yang luas. Kuda dan sapi adalah teman baik, makanya harga daging sapi disana bersaing dengan harga ayam. Walaupun kuda dan sapi banyak yang berkeliaran, tapi kalau sampai menabrak pasti akan ada warga lokal yang meminta ganti rugi.
Jumlah sekolah mungkin tidak sampai 10 dari TK sampai SMA. Gw lupa persisnya tapi pernah bersekolah di 2 tempat yaitu sekolah negeri dan swasta Islam. Sekolah Negeri mungkin hanya 4-5 jam belajar dengan 1 kelas isi 50 orang. Jadi sangat berisik. Dan kalau mau ke WC harus isi air dulu dengan menimba air sumur. Kalau di sekolah swasta jumlah murid 1 kelas lebih sedikit yaitu 30 orang. Namun perihal fasilitas tidak jauh berbeda, menimba air untuk ke WC adalah wajib.
Dulu anak sekolah disana tegila – gila dengan breakdance. Jadi sewaktu istirahat, ada yang bawa tape dan juga tikar. Mereka akan buka tikar tersebut dibelakang sekolah dan mengadakan battle. Maka setiap anak sekolah harus punya signature move. Dan battle ini terjadi tiap hari pada saat istirahat.
Cerita pengalaman di Kota Merauke akan dilanjutkan di bagian selanjutnya.