Akhir – akhir ini gue jadi sering berpikir kalau sepertinya banyak waktu yang tidak produktif. Walaupun gadget atau aplikasi yang tugasnya mempermudah malah tidak diutilisasi secara maksimal. Kalau ini pabrik tentu sudah pasti merugi dan nilai depresiasi lebih tinggi daripada nilai ekonomi barang itu sendiri.
Tanpa maksud mencari teman atau excuse, tapi gue cukup yakin kalau bukan hanya gue sendiri yang merasakan ini. Namun, hampir setengah juta dari rakyat Tangsel (Hasil Survey Pikiran Sendiri) pasti mengalami hal yang sama. Terlebih lagi mungkin untuk yang sudah bekerja dan mencoba untuk keep up dengan literasi supaya tidak ketinggalan dengan lulusan MBA atau MM yang selalu memakai terminologi yang membuat kami merasa bodoh karena belum pernah dengar sebelumnya.
Evolusi memalaskan diri ini justru terjadi pada puncaknya dimana secara kondisi ekonomi sedang baik dan hasrat untuk mempunyai gadget atau aplikasi pendukung meningkat. Seperti ada excuse di dalam diri yang membisikan, “Kalau lo beli ini, nanti bakal gampang loh. Pasti nanti jadi lebih rajin dan tambah pinter”. Dan itu hanya hasutan setan belaka.
Gue coba jelaskan konteks dan membagi bahasan ini dulu. Aktivitas yang memalaskan ini pada sejatinya menurut gue memang kegiatan rekreasional yaitu membaca, menulis dan menonton. 3 serangkai yang sebenarnya kalau digabung secara maksimal, kelak bisa jadi the next founding fathers. Namun sayangnya, bukan membangun tapi malah jadi lebih sering merebahkan badan.
Posisi merebahkan badan gue anggap menjadi posisi yang meditatif. Gue bisa fokus untuk kegiatan – kegiatan yang mulia seperti 3 serangkai tersebut. Dalam posisi rebahan kita masih bisa menulis (mengetik) di hp, membaca dan menonton dalam keadaan khusyuk.
Namun sepertinya rebahan terlalu banyak pun menjadi alasan untuk menyalahkan diri sendiri yang menjadi makin malas. Padahal semua akses untuk mendapatkan informasi hanya dalam jangkauan tangan. Gue rasa pun, dibalik product development para penggiat aplikasi literasi ini ada sedikitnya konsep “memudahkan untuk memalaskan”. Yang dimana kita yang punya semangat ingin menambah ilmu tapi tidak punya waktu, sok-sok ikutan memiliki aplikasi tersebut dan investasi yang tidak sedikit, namun pada ujungnya hanya menjadi tsundoku.
Gue yakin para tipe Tsundoku ini menjadi big chunk of customer. Melihat bonus demography dimana usia produktif dan bekerja ini makin banyak. Masalah yang dihadapi adalah punya uang tapi minim waktu. Mungkin dalam 10 tahun lagi bakal ada teknologi untuk mengkonsumsi konten pada saat kita tidur. Kita tetap beristirahat namun otak tetap dapat asupan. Walaupun terdengar seperti Inception ya. Namun ya sangat mungkin. Kita punya 2 dunia yang berbeda, dunia nyata dan limbo.
Orang – orang seperti gue yang selalu mencoba adaptasi dengan teknologi untuk mendapatkan benefit yang sama, akan mencoba semuanya. Yang pada akhirnya akan kembali lagi ke asal karena purist yang maha esa. Para purist tidak terganggu dengan ekosistem diluarnya. Karena mencoba semua dan beradaptasi belum tentu cocok. Seperti kata Darwin kan, survival at the fittest. Gue mungkin bakal balik ke neolitikum dan berteman dengan Flintstone. Tapi mungkin analogi yang benar juga, ibarat Flintstones vs The Jetsons.
Intinya, dimasa semua mudah belum tentu jadi mudah untuk kita bisa memaksimalkannya. Karena mudah secara akses, pemakaian dan terjangkau secara harga. Kita jadi lebih sering menyepelekan, dan itu adalah waktu. Sesuatu hal yang tidak bisa berulang, tidak bisa dibeli atau ditambah juga karena tidak ada yang tau sampai kapan akan bergulirnya waktu. Bukan alat penunjang yang jadi kunci, tapi yang tidak pernah salah adalah niat dan konsistensi. Itu yang paling berharga dan paling susah. Mungkin apakah lebih baik mempersulit menjadi merajinkan? Silakan kalian sendiri yang pikirkan ya.
Adios!